Jumat, 01 April 2011

Laporan Hasil Penelitian

“Menelusuri Hubungan PGRS/PARAKU dan Pengusiran Cina Oleh Dayak pada Tahun 1967 di Kalimantan Barat”
Oleh :erma s.ranik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Kejatuhan Soeharto membawa banyak dampak positip bagi penguakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Banyak peristiwa yang dulunya tidak bisa diungkit kemudian menjadi tuntutan publik untuk dibongkar kembali. Peristiwa-peristiwa ini banyak yang melibatkan militer Indonesia (baca Tentara Nasional Indonesia). Pada beberapa peristiwa khusus, seperti Kasus Aceh dan Tanjung Priok, Komnas HAM bahkan turun tangan dengan membentuk Tim Khusus untuk mencari fakta.
Namun ditengah tuntutan untuk membongkar kembali borok masa lalu rezim Soeharto, Kalimantan Barat menjadi terlupakan. Padahal di Kalimantan Barat terjadi peristiwa yang sangat luar biasa ditinjau dari sudut pelanggaran HAM. Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama masa Demonstrasi Dayak-Cina yang terjadi pada awal kekuasaan rezim Orde Baru di Indonesia. Peristiwa ini erat kaitannya dengan Operasi Militer yang digelar oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam menumpas PGRS/Paraku di Kalimantan Barat.
Peristiwa ini tak lepas dari perubahan kebijakan dengan pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Soekarno mendukung PGRS/Paraku yang ingin mendirikan Negara Kalimantan Utara merdeka terbebas dari Federasi Malaysia. Berbeda dengan itu, Soeharto malah mendukung Federasi Malaysia dan memilih berdamai. Langkah Soeharto ini dengan
sendirinya membuat PGRS/Paraku yang semula kawan menjadi lawan bagi Indonesia.
Masih dalam masa penumpasan PGRS/Paraku, di Kalimantan Barat terjadi pengusiran dan pembunuhan etnis Cina secara besar-besaran. Meski tidak diketahui pasti jumlahnya, peristiwa ini jelas menimbulkan tanda tanya yang besar mengingat sejak permulaan abad 20, tidak ada lagi konflik yang terjadi antara etnis Dayak dan Cina di Kalimantan Barat.
Penyerangan ini menurut sumber-sumber resmi pemerintah adalah suatu bentuk spontanitas Dayak dalam melawan gerakan komunis dibawah PGRS/Paraku. Versi resmi ini kemudian dianggap sebagai sebuah ‘kebenaran sejarah” dan terus diajarkan ke generasi berikutnya.
Padahal, banyak jejak yang memperlihatkan bahwa Demonstrasi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dan spontan dilakukan oleh orang Dayak, melainkan di dorong oleh banyak faktor diantaranya faktor politik lokal, nasional dan internasional pada waktu itu.
Karena itu, maka peneliti tertarik dan mengadakan penelitian tentang hubungan kedua peristiwa diatas dan menamakan judul penelitian ini sebagai berikut : “Menelusuri Hubungan PGRS/Paraku dan Pengusiran Cina oleh Dayak pada tahun 1967 di Kalimantan Barat”.

B. Tujuan Penelitian
Melihat permasalahan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Untuk menelusuri bagaimana proses terjadinya PGRS/Paraku di Kalimantan Barat.
2.Untuk melihat apakah ada hubungan antara PGRS/Paraku dengan pengusiran Cina oleh Dayak pada tahun 1967
3.Untuk menelusuri hubungan Dayak-Cina di Kalimantan Barat sebelum Demonstrasi.
4.Untuk menelusuri pola Demonstrasi dan faktor-faktor pendorongnya ?
C.Metode penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode 2 metode, yakni :
1.Metode penelitian literatur, yakni dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen, buku, artikel yang berhubungan dengan topik yang diteliti. Penelitian literatur ini lebih banyak dicari untuk mengungkapkan keberadaan PGRS/Paraku dan peristiwa demonstrasi.
2.Metode wawancara, yakni peneliti melakukan wawancara langsung dengan para pelaku sejarah Demonstrasi. Metode ini dipilih karena orang Dayak umumnya tidak menyimpan dokumen tertulis. Mereka mengingat peristiwa dengan ingatannya. Kelemahan dari metode ini adalah pada perbedaan ingatan narasumber tentang tanggal dan waktu kejadian. Karenanya untuk melengkapinya penulis menggunakan bahan-bahan tertulis tentang peristiwa tersebut. Responden yang dipilih bervariasi kedudukannya, mereka adalah Kepala kampung, ketua adat, anak muda yang ikut demonstrasi, ibu rumah tangga dan guru. Bervariasinya responden ini untuk mencoba membandingkan keterangan antara satu pihak dengan pihak lain tentang peristiwa yang sama.

Metode penelitian literatur digunakan untuk mencari tahu tentang PGRS dan mencari sejarah kedatangan Cina di Kalimantan Barat. Sementara Metode penelitian wawancara dilakukan peneliti untuk mencari pandangan orang Dayak tentang demonstrasi dan hubungan mereka dengan orang Cina. Peneliti sengaja tidak melakukan wawancara satupun dengan orang Cina untuk melihat perspektif Cina, ini dengan pertimbangan dan pengalaman masih tertutupnya orang Cina untuk membicarakan tentang peristiwa Demonstrasi.

D. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam (enam) bulan. Sebagian besar waktu (tiga bulan) dihabiskan untuk mencari literatur dan bahan yang berhubungan dengan PGRS/Paraku. Kesulitan pencarian bahan di Kalimantan Barat ini disiasati dengan mencari bahan dari luar daerah. Bahan-bahan ini sangat diperlukan sebagai bahan perbandingan dari sumber-sumber bahan tertulis di Pontianak yang kebanyakan hanya mengambil versi militer. Wawancara lapangan dilakukan penulis selama kurun waktu dua bulan untuk mencari dan menemukan responden yang tepat.
Lokasi penelitian diadakan di wilayah-wilayah terjadinya konflik di wilayah Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Wilayah penelitian dikhususkan dipusatkan di Kecamatan Sanggau Ledo, Kecamatan Ledo, Kecamatan Samalantan, Kecamatan Menjalin, dan Kecamatan Toho ***

BAB II
DAYAK-CINA, SEBUAH HUBUNGAN YANG PASANG SURUT

A.Etnisitas di Kalimantan Barat
Menyebut nama etnis di Kalimantan Barat maka saat ini terdapat 3 etnis yang secara kuantitatif terbesar di Kalimantan Barat. Mereka adalah Dayak, Melayu dan Cina. Tidak ada jumlah yang pasti tentang perimbangan etnis di Kalimantan Barat sampai pada tahun 2001. Data etnisitas terakhir bisa dilacak saat Belanda mengadakan sensus penduduk pada tahun 1930. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah enggan mengadakan sensus penduduk dengan menyebutkan asal etnis karena dikhawatirkan akan membawa isu SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan).
Data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang etnisitas di Kalimantan Barat adalah data dari Kodam Tanjungpura.

Tabel 1
Prosentase Penduduk dan Suku Bangsa
(Sejak Tahun 1930-1967)

Dayak Melayu Bugis Jawa Madura Cina Eropa
41 39 5 2 0,6 12 0,1

Dari data di atas, tampak bahwa dari segi jumlah etnis Dayak menempati posisi pertama dengan perimbangan jumlah 41 %, Melayu di posisi kedua dengan jumlah 39 % dan Cina dengan jumlah 12 %, sisanya adalah suku-suku lain (Semdam, Tanjungpura Berjuang; Sejarah Kodam XII/Tanjungpura ;Kalimantan Barat; 1970; halaman 15).
Suku Dayak, dulu menyebut dirinya menggunakan namanya masing-masing mengikuti nama sungai atau bukit tempat tinggalnya. Misalnya orang Mempawah, orang Bukit, orang Simpakng, orang Menyuke. Namun penamaan ini kemudian menjadi umum yakni Daya (tanpa huruf k), setelah kedatangan Belanda.
Belanda menggunakan kata Daya adalah penamaan umum yang dipakai untuk menyebutkan suku-suku yang mendiami Kalimantan barat dengan klasifikasi sebagai berikut : memiliki beberapa kesamaan yakni rumah panjang, mandau, mengayau (di masa lampau) dan tidak memeluk agama Islam.
Menurut R. Masri Sareb Putera, Kata Daya artinya orang udik yang tinggal di pedalaman. Menurut pengetahuan tata bahasa Belanda, penulisan yang benar adalah tanpa k. Sebab bahasa Belanda selalu menyisipkan konsonan di antara dua huruf vokal untuk membentuk kata benda. Misalnya Java  javanees, Sunda  sundanees, Bali  Balinees, Dayak  Dayaker. Dalam litertur Belanda Dayaker tidak pernah dipergunakan. Yang dipergunakan adalah Dayak yang disejajarkan dengan binnenlander yang berarti orang /suku yang bertempat tinggal di pedalaman/orang hulu/ orang Daya (Herman Josef van Hulten, catatan Seorang Misionaris : Hidupku di Antara Suku Daya, 1992, halaman xiv).
Perkembangan ke depan terdapat dua interpretasi untuk menyebut suku-suku dimaksud di atas yakni Dayak dan Daya. Mereka yang memilih menggunakan kata Daya berpendapat bahwa kata Dayak adalah kata yang sangat merendahkan dan menghina. Karenanya pada masa awal kemerdekaan sampai orang Dayak mendirikan partai politik (Partai Persatuan Dayak), kata yang digunakan adalah Daya tanpa huruf k.
Situasi ini berubah pada tahun 1992, ketika Institute Dayakology Research and Development (IDRD, sekarang Institut Dayakology) mengadakan seminar nasional dan Expo Budaya Dayak di Pontianak. Saat itu terjadi debat yang sangat kritis tentang penggunaan kata Dayak atau Daya. Debat ini kemudian dimenangkan oleh penganut terminologi Dayak. Selanjutnya kata Dayak lah yang kemudian dipakai dengan konsisten hingga saat ini.
Etnis kedua terbesar yakni etnis Melayu. Penamaan ini umumnya diberikan pada penduduk yang berada di wilayah pesisir sungai atau kota yang memeluk agama Islam.
Etnis terbesar ketiga yakni etnis Cina. Etnis ini adalah etnis pendatang dari negeri Cina yang kemudian menetap dan bermukim di Kalimantan Barat. Ada dua istilah yang sering dipergunakan untuk menyebut etnis ini pertama adalah etnis Cina kedua adalah etnis Tionghoa. Peneliti sengaja menggunakan istilah Cina tidak menggunakan istilah Tionghoa seperti yang dipakai sekarang ini.
Pemilihan istilah Cina ini dilakukan dengan dua pertimbangan, pertama istilah Cina tidak bermaksud untuk memberikan stereotipe rasial pada etnis Cina, kedua : pertimbangan konsistensi penelitian ini sendiri yang melacak sejarah kedatangan Cina hingga bermukim di Kalimantan Barat.
Adalah limpahan kekayaan tambang emas di Kalimantan Barat yang membuat etnis Cina datang ke Kalimantan Barat. Penduduk lokal (Dayak) juga menambang emas, tetapi dengan teknologi yang sangat sederhana. Karenanya hasil yang di dapat juga tidak besar. Keadaan ini mendorong Sultan-sultan Melayu yang berkuasa pada waktu itu mencari cara untuk mendapatkan emas lebih banyak.

Pada awal 1740, Panembahan Mempawah atau mungkin juga Sultan Sambas memutuskan untuk mengimpor buruh Cina untuk penambangan emas. Kemungkinan tempat pertama yang dibuka adalah sepanjang Sungai Duri dimana klaim kedua wilayah bertemu. Tidak ada catatan yang menyebutkan, tetapi Komisioner Tobias menulis pada tahun 1822 pemukiman pertama (orang Cina) berada di Sambas bertetangga dengan Seminis dan sudah dibangun sejak tahun 1740 (Marry Somers Heidhues, Golddiggers, farmers and Traders in the “China District” of West Kalimantan, Indonesia, 2003, Halaman 51).

B.Cina, Dari Buruh Menuju Kongsi
Sekilas baru orang luar Cina di Kalimantan Barat tampak sama . padahal mereka berbeda satu sama lain. Kebanyakan orang Cina yang berada di Kalimantan Barat berasal dari provinsi selatan Cina Guangdong (dengan beberapa Hokkian dari Fujian), bahasa mereka – Hakka, Teochiu, Canton, Hainan dan lainnya – yang satu sama lain tidak saling mengerti. (Heidhues, halaman 32). Tiochiu ini dalam dokumen kolonial dan dikenal orang di Kalimantan Barat sebagai Hoklo. Sementara Hakka dikenal orang sebagai Cina Khek.
Kedatangan buruh Cina dari negeri asalnya ini tidaklah gratis. Mereka dianggap sebagai buruh yang berkerja pada majikan dan wajib membayar upeti pada majikannya. Banyak aturan yang ditetapkan oleh Sultan-sultan Melayu untuk mengontrol orang Cina.

Kerajaan menetapkan bahwa mereka menyediakan semua kebutuhan hidup sehari-hari seperti garam dan beras, opium dan barang-barang lain yang dibutuhkan, dengan harga yang ditentukan kesultanan sendiri. Sebagai balasannya, orang Cina tidak boleh ikut serta dalam pertanian atau untuk memiliki senjata api; mereka juga tidak bisa mengimport atau mengekspor apapun sendiri. Mereka harus mengirim upeti dalam bentuk emas sebagai pembayaran untuk ijin bekerja sebagai penambang. Sebagai tambahan, imigran Cina harus membayar pajak masuk ke Borneo dan kadang lebih tinggi ketika mereka pergi.(Heidhues, halaman 52).

Pada awalnya, para buruh ini tunduk pada larangan-larangan kerajaan. Namun semakin hari, mereka semakin tidak tunduk dan mulai mengorganisir dirinya untuk semakin kuat. Pengorgaanisiran diri ini membuat mereka ingin menyediakan segala sesuatu kebutuan mereka sendiri dan tidak tergantung dengan pihak kerajaan. Apalagi sultan menetapkan harga yang tinggi untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari yang kadang tidak terjangkau harganya.

Awal penentangan terhadap aturan kerajaan adalah keberanian buruh untuk menanam padi dan sayur untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Ini lebih dipicu oleh tingginya harga yang ditetapkan oleh sultan di lembah-lembah yang subur. (Heidhues, halaman 53).

Semakin hari, para pendatang Cina ini semakin tidak tergantung pada kerajaan-kerajaan Melayu di wilayahnya. Kelompok-kelompok yang ada mulai mengorganisir diri. Keadaan ini membuat mereka semakin percaya diri bahkan tidak mau lagi membayar pajak dan upeti kepada kerajaan.
Cina di Sambas hanya membayar pajak pada sultan beberapa tahun pertama kedatangannya. Ketika sultan baru memegang tampuk tahta, saudara lelakinya tertuanya Pangeran Anom yang tinggal bersama orang Cina selama lima tahun mengadopsi pakaian Cina dan rupa-rupanya juga kepercayaan dan adat-istiadatnya, dia menghasut Cina di Monterado untuk berhenti membayar pajak pada sultan. Pangeran Anom kemudian memegang tampuk tahta, tetapi sayangnya pada saat dia, Cina menjadi sangat independen dan mereka hanya sekali membayar pajak (seribu dolar emas) untuk mantan sekutunya (Heidhues, halaman 53).
Sikap tidak tergantung orang Cina ini menjadi semakin kuat karena mereka lebih terorganisir. Pengorganisiran ini menjadi bibit awal pendirian Kongsi-Kongsi di Kalimantan Barat.
Kongsi, secara khusus dalam daerah pertambangan dapat berarti kelompok-dari beberapa lusin anggota, yang setuju untuk memberikan keuntungan atau tenaga kerja pada anggota lain yang memiliki saham (hun, mandarin fen) dan untuk membagi keuntungan di antara mereka sendiri (Heidhues, halaman 54).
Cara mereka mengumpulkan kekayaan ialah dalam bentuk saham dimana tiap-tiap pemegang saham diwajibkan membayar iuran sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan dalam pembagian laba rugi mereka perhitungkan menurut jumlah saham yang mereka miliki. Barangsiapa memiliki lebih dari satu saham maka untuk kelebihannya itu pemegang saham diwajibkan menyediakan jumlah tenaga kerja sesuai dengan jumlah sahamnya yang lebih dan ongkos ditanggung pemegang saham sendiri. Tiap pemegang saham mempunyai hak suara di perusahaanya (Semdam, halaman 56).
Kongsi-kongsi ini sendiri berkembang dengan cepat dan saling timbul persaingan di antara mereka. Beberapa kongsi kemudian menggabungkan diri dengan kongsi yang lebih kuat.
Perwakilan dari kongsi yang besar bertanggungjawab sehari-hari pada pemerintah. Mereka dipanggil “republik” dan “demokrasi” menurut sumber-sumber pada abad 19. Saat itu terdapat 3 federasi besar di Kalbar : Fosjoen di Monterado, Lanfang di Mandor Dan Samtiaokioe, yang pada saat itu anggota dari Fosjoen di Menterado tetapi keluar pada tahun 1819 (Heidhues, halaman 55).
Keberadaan kongsi-kongsi menimbulkan persaingan di dalam mereka sendiri. Ketiga Kongsi besar ini sama-sama saling bersaing untuk memperebutkan pengaruh dan tak jarang menimbulkan perkelahian yang hebat. Persaingan bisnis tak jarang juga diwarnai oleh kentalnya perbedaan asal dan perbedaan keluarga dari Kongsi-kongsi tersebut.
Kebanyakan Cina Thaikong berasal dari Lufeng dan Huilai di pesisir Guangdong dengan nama keluarga Ng, Wong, dan Tjhang. Di Samtiaokioe, sangat dominan nama keluarga Tjoe dan Woen, seperti Thaikong, penambang emas Samtiaokioe berasal dari Lufeng dan Hauilai. Sementara Lanfang sangat menonjol dari Meixian (Hakka) atau dari Dafu, keduanya di dataran tinggi Guangdong (Heidhues,halaman 63)
Untuk memenangkan persaingan, kongsi-kongsi tak segan melakukan pendekatan atau meminta dukungan dari pihak-pihak yang berkuasa waktu itu seperti Kesultanan Melayu dan Belanda .
Perkembangan yang luar biasa dari Kongsi-kongsi Cina ini membuat sultan-sultan menjadi hilang kekuasaan dan kewibawaannya. Dengan demikian mereka juga kehilangan kesempatan untuk menarik pajak dan upeti dari orang Cina di wilayah mereka. Keadaan ini meresahkan hati sultan-sultan. Mereka berusaha mencari jalan untuk dapat mengontrol kembali orang Cina dalam wilayah mereka. Untuk itu mereka memilih bantuan dari Belanda.
Sultan Sambas menulis surat permohonan pada Residen Semarang pada Maret 1817. Isi suratnya menunjukan perasaan terancam dirinya dan keluarga kerajaannya dan kesultanan Pontianak (tidak menyebutkan hubungan buruknya dengan penambang emas Cina) dan mendorongnya menulis dalam kalimatnya, “kondisi yang pahit dan disayangkan untuk wilayah yang telah hancur” (Heidhues, halaman 73).
Sebenarnya selain meminta bantuan Belanda, Sultan Sambas juga meminta bantuan dari Inggeris. Tapi Belanda tiba lebih dahulu di Pontianak pada 21 Juli 1818 (Heidhues, halaman 74). Kedatangan Belanda ini juga secara resmi menandai penyerahan kedaulatan Sultan Sambas dan Pontianak kepada pihak Belanda.
Dukungan kemampuan dan peralatan militer Belanda ini membuat Sultan-Sultan Melayu dengan mudah mematahkan kekuasaan Kongsi-kongsi Cina di Kalimantan Barat. Belanda mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap kongsi-kongsi Cina. Namun bukan berarti bahwa Belanda membutuhkan waktu yang singkat untuk menghancurkan kongsi-kongsi tersebut.
Baru pada tahun 1856, seluruh kekuatan gabungan kongsi-kongsi pertambangan emas dan direbut dan dihancurkan oleh Belanda (Semdam, halaman 58). Hancurnya Kongsi-kongsi tersebut membuat orang Cina tak lagi berkumpul dan memiliki suatu wilayah teritorial yang kuat. Mereka memilih hidup tersebar ditengah perkampungan Dayak. Sangat sedikit sekali mereka yang masih mendiami bekas wilayah Kongsi dan secara homogen bertempat tinggal.
Usai kehancuran Kongsi, penduduk Cina lebih banyak memusatkan diri dalam perdagangan dan menjadi petani di kampung-kampung. Jumlah merekapun terus bertambah. Hasil sensus penduduk tahun 1930 menyebutkan jumlah orang Cina di Kalimantan Barat sebanyak 66.700 orang, mereka terbagi menjadi empat suku besar yakni Hakka, Teochiu, Kanton dan Hokkien. (Heidhues, halaman 31).

Tabel 2
Orang Cina Di Kalbar Berdasarkan Hasil Sensus 1930
Hakka 38.313
Teochiu 21.699
Cantonese 2.961
Hokkien 2.570
Lain-lain 1.257
Total 66.700

Jumlah yang besar ini tak membuat Belanda khawatir untuk mengontrolnya. Mereka mengangkat seorang kepala yang disebut Kapitan dan Loathai untuk mengatur mengotrol Cina (Heidhues, halaman 171). Kekuasaan Loathai dan Kapitan ini hanyalah simbolis saja, mereka juga diwajibkan bekerjasama dan tunduk kepada kepala kampung Dayak yang berada di wilayah mereka (wawancara dengan responden di Ledo, Agustus 2003).

C.Hubungan Dayak - Cina Sebelum Demonstrasi
Melihat hubungan orang Dayak dengan orang Cina tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan kedua suku ini dekat satu sama lain. Banyak sekali cerita yang diungkapkan oleh responden tentang kedekatan ini.
Kisah yang beredar di masyarakat Dayak dan diyakini sebagai sebuah kebenaran adalah bahwa antara orang Cina dan orang Dayak adalah saudara. Orang Cina yang pada masa awalnya datang ke Kalimantan Barat datang tanpa membawa kaum perempuan. Mereka mengambil perempuan Dayak untuk menjadi isteri mereka (wawancara dengan responden di Sanggau Ledo, Menjalin, Ledo, Agustus 2003).
Cerita ini dibenarkan oleh catatan sejarah jaman Belanda yang ditulis pada permulaan abad ke 19. “Ketika orang Cina pertama kali datang ke daerah ini, mereka menikah hanya dengan anak perempuan Dayak. Beberapa saat kemudian, ketika populasi bertambah, mereka memulai untuk menjalin pernikahan dengan sesamanya dan mereka jarang mengambil perempuan Dayak untuk isteri mereka,” (Heidhues, halaman 35).
Selain itu faktor kedekatan tempat tinggal juga memicu hubungan baik Cina dengan Dayak. Orang Cina, terutama sejak masa berakhirnya Kongsi banyak yang hidup di pedesaan dan menjadi petani atau pedagang kecil di sekitar perkampungan Dayak.
Pada umumnya orang Dayak memandang interaksi keduanya ini adalah interaksi saling umumnya menguntungkan. Orang Cina mengajarkan kepada Dayak cara bersawah sedangkan orang Dayak mengajarkan orang Cina cara berladang. Selain itu orang Dayak bisa menjual hasil pertaniannya kepada pedagang Cina untuk memperoleh uang tunai.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan pengamat luar (khususnya orang asing) yang menganggap hubungan Cina – Dayak adalah sebuah hubungan yang eksploitatif. Asumsi ini disebabkan rendahnya harga barang yang dibeli oleh orang Cina dari orang Dayak.
Secara umum, responden yang ditemui menyatakan bahwa tidak ada masalah hubungan dengan orang Cina sepanjang apa yang diceritakan oleh nenek moyang mereka. Hanya satu responden yang berpendapat bahwa orang Cina menipu orang Dayak dalam mendapatkan tanah. Orang Cina menggunakan pola menanam buah Perenggi dan memberikan pinjaman kepada orang Dayak. Perenggi dipakai sebagai batas tanah antara Dayak dan Cina. Namun jika Perenggi sudah tumbuh dan menjalar, maka sedikit demi sedikit orang Cina akan semakin lebar tanahnya. Cara lain yang dipergunakan adalah cara memberikan pinjaman. Jika orang Dayak sudah tidak sanggup membayar pinjamannya maka orang Cina akan menawarkan untuk menghapus hutang si Dayak dengan tanah (wawancara di Ledo, Agustus 2003).
Hal ketiga yang menyebabkan kedekatan hubungan Dayak dan Cina adalah soal kedekatan budaya. Berbeda dengan budaya Melayu yang sangat jauh berbeda dari budaya Dayak, budaya Cina adalah budaya yang toleran kalau tidak mau dikatakan sama seperti budaya Dayak. Ini sederhana sekali dapat dilacak dari dua hal yakni penghormatan terhadap nenek moyang yang sangat besar dan budaya makan babi (non muslim). Orang Dayak dan orang Cina sama-sama menganut faham untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal. Orang Dayak membuatkan Pantak untuk leluhurnya sementara orang Cina akan menaruh nama leluhurnya di Toapekong. Kedua etnis ini juga tidak mengalami persinggungan budaya dalam hal makanan, karena keduanya bisa duduk semeja dan menyantap hidangan yang sama.
Dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang membuat kedekatan hubungan orang Dayak dengan Cina. Pertama adalah soal keyakinan bahwa diantara mereka sesungguhnya masih terdapat pertalian darah. Kedua, mereka hidup di areal yang relatif bertetangga satu sama lain. Ketiga adalah kedekatan budaya.
Hubungan yang sangat dekat ini bukan berarti juga berlangsung dengan mulus. Catatan sejarah dan ingatan responden memperlihatkan beberapa kali terjadi konflik antara Dayak dengan Cina. Namun konflik ini sebagian besar karena orang Dayak dipanasi untuk dijadikan “kayu api untuk memasak kepentingan” pihak-pihak yang berkuasa (Sultan Melayu dan Belanda untuk memerang orang Cina).

Berikut ini adalah catatan yang berhasil dikumpulkan tentang sejarah konflik orang Dayak dan orang Cina sebelum demonstrasi:
1.Masa awal Kongsi. Tahun 1842, penambang emas Cina di Lara mengambil alih lahan tambang Dayak dan mengusir penambang emas Dayak. Dayak membalas dengan membakar beberapa tempat tinggal Cina dan Cina membalasnya dengan membunuh sekitar 40 orang Dayak. Dayak membalas dendam dengan membakar beberapa ratus rumah. Pangeran Jaya dari Sambas mendorong orang-orang Dayak di wilayahnya untuk melawan, tetapi Cina dari Thaikong ikut serta dalam keributan itu, perkelahian berakhir ketika pasukan Sambas tiba dengan bantuan dari Dayak Selakau. Bertahun-tahun kemudian ketika pejabat pemerintah Belanda berkunjung ke Dayak Lara yang terusir dari wilayahnya dan menemukan mereka hidup di perbatasan dalam kemiskinan yang parah (Heidhues, halaman 83).
2.Masa pertikaian antar Kongsi Thaikong dan Samtiaokioe di Sambas pada tahun 1850. Samtiaokioe memohon bantuan dari Asisten residen Sambas, van Prehn, tetapi dia tidak dapat memerintahkan dukungan militer. Sultan Sambas memanggil pasukan Dayak dibawah komando Melayu untuk menyerang China Thaikong. Pasukan Sultan mengabaikan Thaikong dan masuk lebih dalam sampai di dekat daerah pemukiman pertanian yang dimiliki oleh Kongsi Lumar dan Buduk, yang saat itu bersikap netral pada persaingan antara Thaikong dan Samtiaokioe. Beberapa petani terbunuh, rumah mereka dibakar dan beberapa perempuan mereka dibawa ke sultan. Kedua kongsi ini datang ke Thaikong dan meminta bantuan dan menyalahkan Samtiaokioe yang menghasut secara brutal (Heidhues, Halaman 87).
3.Tahun 1884, Komisioner Prins sangat senang dengan ide menggunakan Dayak Mempawah untuk mencari dan menyerang Cina pemberontak. Akibatnya pada 9 Februari 1885, pasukan asing Dayak dari Mempawah yang ikut menghalau pemberontak di utara Mandor ketika mereka menyerang pemukiman China di dekat Anjungan yang tidak pernah terlibat dengan pemberontak. Pengungsi di sepanjang sungai Mempawah, kebanyakan perempuan dan anak-anak tiba di Mandor. Mereka melaporkan Dayak membakar pemukiman Cina dan mengambil kepala, sebuah kebiasaan yang sering – dan tidak benar-benar akurat - atribut dari prajurit Dayak. Dalam hitungan hari, Dayak menyulut rumah-rumah orang Cina di sekitar Mandor sendiri. Korban di kota-kota pesisir seperti Sungai Purun, Sungai Peniti dan Sungai Pinyuh juga Mandor. Pihak yang berwenang memprotes Sultan Mempawah tapi gagal membendung kekerasan. Kemudian Controleur Mandor menghitung korban, 248 rumah dibakar, 27 orang terbunuh termasuk 3 perempuan dan 4 anak-anak (Heidhues, halaman 111 dan 118) .
4.Perang Lamoanak (tahun tidak diketahui). Menurut seorang responden yang berusia sekitar 60 tahun, kisah perang ini sudah terjadi sejak zaman kakeknya. Saat itu di daerah Lamoanak Menjalin, ada sekelompok penambang emas Cina yang ditakuti oleh orang Dayak dengan hantu untuk mencuri emas mereka. Beberapa kali cara ini berhasil, hingga orang Cina mengetahui kalau mereka sebenarnya ditipu. Mereka kemudian mengadakan tuntutan balas. Mereka mengundang orang Dayak yang mencuri emas mereka untuk pesta. Saat itulah para pencuri ini dibunuh oleh penambang Cina. Pembunuhan ini tak sampai memicu konflik Dayak-Cina karena menurut responden, orang Dayak yang mengetahui cerita sebenarnya tidak bersimpati pada Dayak yang telah menjadi pencuri (wawancara dengan responden Agustus 2003).

Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum hubungan orang Dayak dengan orang Cina adalah sebuah hubungan yang sangat baik. Namun karena kepentingan politik pihak luar dan kepentingan ekonomi sesaat, hubungan ini kemudian menjadi pemicu konflik. Kentalnya kepentingan politik dalam konflik Dayak-Cina terlihat pula saat peristiwa Demonstrasi (Lihat bab IV). ***

BAB III
KALIMANTAN BARAT, AJANG PRAKTEK LAPANGAN POLITIK NASIONAL DAN INTERNASIONAL INDONESIA

A.Demokrasi Terpimpin, Konfrontasi dan Pengaruhnya di Kalimantan Barat
Sampai dengan tahun 1959, keadaan perpolitikkan Kalimantan Barat tidak banyak terpengaruh dengan hingar-bingar politik di tingkat nasional. Partai-partai politik yang di tingkat nasional (Jawa) mendapatkan massa yang luar biasa, tidak berdaya di Kalimantan Barat. Partai lokal dan sangat kuat di Kalimantan Barat kala itu adalah Partai Persatuan Daya (k) atau Partai PD. Dengan menggunakan sentimen etnis, partai ini mampu menggalang massa yang sangat luar biasa.

Dukungan massa mengantar Partai PD keluar sebagai satu-satunya partai lokal yang mampu bicara di tingkat nasional. Dalam Pemilu 1955. untuk DPR, PPD berhasil menempatkan diri di posisi nomor dua setelah Masyumi. Kemangan Partai PD secara mutlak terjadi saat Diselenggarakan Pemilihan Umum Daerah pada tanggal 22 Mei 1958. Partai PD meraih suara mayoritas dan menguasai DPRD Kalimantan Barat.

Berdasarkan UU No: 14 tahun 1956 tanggal 16 Juli 1956 yang diundangkan tanggal 17 Juli 1956, disusunlah DPRD Peralihan Daerah Swatantra Tk. I Kalbar. Adapun dasar yang dipergunakan untuk menentukan siapa-siapa yang akan didudukan di dalam DPR Peralihan tersebut adalah ketentuan hasil pemilihan umum untuk DPR (pemilu tahun 1955).

Tabel 3
Susunan DPRD Peralihan Daerah Swantantra Tingkat I
Kalimantan Barat*

Susunan DPRD peralihan daerah adalah sebagai berikut :
Partai Masjumi : 10 orang
Partai Persatuan Dayak : 9 orang
PNI : 4 orang
P. Nadatul Ulama : 3 orang
Partai Sosialis Indonesia : 1 orang
Partai IPKI : 1 orang
Partai PKI : 1 orang
* Sumber, Sejarah Singkat Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat 1957-1976.

Untuk DPRD Tingkat I PPD memperoleh 12 dari 30 suara yang diperebutkan. Sedangkan perolehan Partai lain adalah : Masyumi (9 kursi), PNI (4 kursi), NU (2 kursi), IP-KI (i kursi), PSI (1 kursi) dan PKI (1 kursi) (L.H. Kadir, Indonesia Merdeka, Sejarah Perjuangan Aktual dan Masa Depan Kalimantan Barat, 1995, halaman 11).

Adalah Dekrit presiden 5 Juli 1959 yang membuat kondisi perpolitikan lokal di Kalimantan Barat berubah. Berawal dari deadlock nya Konstituante membicarakan Piagam Djakarta, Soekarno mengambil alih parlemen, membubarkan konstituante dan menetapkan Indonesia kembali ke UUD 1945. Ia melakukan pembentukan kabinet baru dan mengadakan perubahan-perubahan mendasar. Soekarno mengeluarkan jargon Demokrasi terpimpin untuk menamai masa kembalinya ke UUD 1945.

Dalam masa demokrasi terpimpin, semua kontrol berada di tangan Soekarno. Untuk mengontrol partai-partai politik, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 yang menetapkan bahwa setiap partai politik minimal memiliki cabang di tujuh propinsi untuk tetap bisa aktif.

Penetapan ini membuat PPD tidak bisa lagi eksis menjadi partai politik. Maka berdasarkan Peraturan Presiden No: 13 tahun 1960 Partai PD dibubarkan dan mengakhiri semua kegiatannya pada akhir tahun 1963 (Kadir halaman 15).

Dalam masa demokrasi terpimpin, perkembangan politik lain yang terjadi di tingkat nasional adalah sikap politik luar negeri Indonesia yang ambigu. Secara resmi Indonesia adalah penyokong utama dari Gerakan Non Blok yang menyatakan tidak memihak dalam masa perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur (komunis). Namun semakin hari, sikap netral ini bertolak belakang dengan sikap pemerintah yang menjadi dekat dengan negara-negara komunis.

Dari banyak pernyataan presiden mengenai isu perang dingin dan dari banyak sikap yang diambil oleh Menteri Luar Negeri Subandrio maka akan kelihatan bahwa pendirian Indonesia adalah suatu netralisme dengan warna mencolok prokomunis (Herbert Feith, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, 2001, halaman 65).

Di sepanjang tahun-tahun ini, pers Indonesia menyerang bertubi-tubi imperialisme (barat) sedangkan serangan terhadap Moskow atau Peking jarang dilakukan. Posisinya diringkasan dalam rumusan presiden bahwa perjuangan dunia ini adalah antara old dying forces (kapitalisme dan imperialisme) melawan new emerging forces (nasionalisme dan komunis) (Feith, halaman 66). Pada awalnya sikap untuk melawan imperialisme dan kapitalisme ala Soekarno ini masih dimainkan dengan cara yang halus. Ini terlihat saat rencana pendirian Federasi Malaysia, Indonesia masih bersikap lunak.

Tanggal 20 November 1961, Menlu Subandrio di Majelis Umum PBB menyatakan : “... ketika Malaya memberitahukan kepada kami maksudnya untuk bergabung dengan ketiga koloni mahkota Inggeris, Serawak, Brunei dan Kalimantan Utara, menjadi sebuah federasi, kami mengatakan kepada mereka bahwa kami tidak berkeberatan dan bahwa kami berharap mereka akan berhasil dengan penggabungan itu sehingga setiap orang dapat hidup dalam perdamaian dan kebebasan,” (Ulf Sundhaussen, Politik Miiliter Indonesia 1945 – 1967 menuju Dwifungsi ABRI, 1988, Halaman 293).

Namun sikap ini segera berubah. Indonesia tidak lagi mendukung rencana pendirian federasi Malaysia. Ini berawal dari pemberontakan Azahari pada tanggal 8 Desember 1962. A.M. Azahari memimpin sebuah gerakan bawah tanah di bawah dan melancarkan suatu pemberontakan di Brunei dengan tujuan membentuk sebuah negara di Kalimantan Utara yang merdeka (Sundhaussen, halaman 294).

Azahari adalah pemimpin dari Partai Ra’ayat yang memenangi pemilu Agustus 1962 di Brunei. Soekarno mengumumkan dukungannya untuk pemberontak, sementara pasukan Inggeris dengan cepat menyelamatkan sultan dan menghancurkan pemberontakan (Jamie S.Davidson and Douglas Kammen, Indonesia’s Unknown War and The Lineages of Violence in West Kalimantan, halaman 55).

Dalam tempo 48 jam, Soekarno menyatakan simpatinya terhadap kaum pemberontak itu dan PKI melancarkan kampanye yang sangat mengesankan untuk mendukung Azahari. Orang-orang Komunis begitu menonjol dengan cara yang merikuhkan di dalam apa yang dimaksudkan sebagai suatu kampanye Indonesia itu, sehingga Soekarno merasa perlu untuk menandaskan bahwa “simpati rakyat Indonesia kepada pejuangan rakyat Kalimantan Utara jelas-jelas bukan disebabkan oleh pengaruh komunis.” (Sandhaussen, halaman 294).

Sikap bermusuhan pemerintah Indonesia terhadap rencana pembentukan federasi Malaysia tidak berakhirnya dengan padamnya pemberontakan di Kalimantan Utara. Namun upaya kekerasan belum dilakukan. Jalan perundingan masih ditempuh oleh kedua belah pihak.

Pada Awal Juni, Soekarno dan pemimpin Malaya, Tunku Abdul Rahman bertemu. Kemudian dan dari 31 Juli sampai 5 Agustus 1963, kedua pemimpin itu bertemu dengan Presiden Macapagal dari Filipina untuk membicarakan penyelesaian politik mengenai krisis itu (Filipina mengklaim koloni Kalimantan Utara). Rumus yang dihasilkan dalam pertemuan Manila itu menyatakan bahwa PBB akan mengirim sebuah tim untuk memastikan apakah rakyat Kalimantan Utara ingin dimasukkan ke dalam negara baru Malaysia. Apabila ya, maka Indonesia dan Filipina berjanji akan menghormati keputusan itu.

Menjelang akhir Agustus hubungan antara Jakarta dengan Kuala Lumpur memburuk lagi dengan tajam. Inggeris dan Tunku Abdul Rahman telah menetapkan 16 September sebagai tanda peresmian Federasi Malaysia, padahal Tim PBB tak mungkin sudah menyampaikan hasil kerjanya pada tanggal itu. Ini jelas-jelas merupakan suatu provokasi terhadap Indonesia. Masa rakyat di Jakarta pada tanggal 16 September membakar gedung kedutaan besar Inggeris. Pemerintah Indonesia memberikan reaksinya dengan jalan memutuskan segala hubungan politik dan perdagangan Malaysia. Soekarno mengumumkan bahwa Indonesia sudah bertekad untuk “mengganyang Malaysia” (Sandhaussen, halaman 294). Masa-masa ini kemudian dikenal dengan nama masa Konfrontasi.

Sebagai bagian dari dukungan kampanye ganyang Malaysia. Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964 melancarkan Dekrit Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang berisi :
1.Perhebat pertahanan revolusi Indonesia.
2.Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai memerdekakan diri dan membubarkan negara Malaysia. (Kabupaten Sambas, sejarah kesultanan dan pemerintahan daerah, 2001, halaman 145).

Keinginan Soekarno untuk memerangi Malaysia juga dipicu oleh keberhasilannya dalam kampanye pembebasan Irian Barat. Rakyat Indonesia masih dihinggapi oleh euforia kemenangan pembebasan Irian Barat pada tahun 1960 menyambut hangat politik Konfrontasi dengan Malaysia.

PKI dengan segera berada di barisan depan untuk mendukung politik Konfrontasi yang dijalankan presiden Soekarno. Dukungan ini sebenarnya tidaklah murni. Dengan mendukung Soekarno, PKI berharap dapat keluar sebagai pemenang dalam persaingannya dengan Angkatan Darat. Sebelumnya PKI sudah menuntut agar kaum sipil (Angkatan kelima) juga ikut dipersenjatai. Namun permintaan ini tidak pernah dikabulkan baik oleh Angkatan Darat maupun Soekarno. Momentum Konfrontasi akan menjadi alasan yang tepat bagi PKI untuk melakukan tekanan agar pemerintah mau mempersenjatai kaum sipil.

Soekarno sendiri melukiskan pembentukan Malaysia sebagai suatu komplotan neokolonialis yang bertujuan mengepung (sic) Indonesia dan menjamin kepentingan Inggeris di Asia Tenggara. Retorika Soekarno sangat mirip dengan argumen yang dikemukakan oleh PKI, dan makin lama orang makin sulit untuk membedakan antara ungkapan ideologis presiden dan ungkapan ideologis kaum komunis, karena kepentingan politik mereka tampaknya menjadi kian identik (Sandhaussen, halaman 295).

Pada masa awal, perubahan angin politik luar negeri Indonesia yang cenderung dekat dengan negara komunis, pengaruhnya tidak terlalu terasa di Kalimantan Barat. Selain keleluasaan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk tumbuh sebagaimana partai lain yang memenuhi syarat, tidak ada hal yang berarti.

PKI di Kalimantan Barat baru mengalami perkembangan yang berarti pada awal tahun 1960an. Dibawah kepemimpinan Said Achmad Sofyan (diketahui juga bernama China Tai Ko yang berarti Abang tertua). Pada saat itu militer memperkirakan bahwa PKI di Kalimantan Barat memiliki 3.500 orang anggota/simpatisan (Davidson and Kammen, halaman 59). Namun perkembangan PKI ini tidak bisa meluas ke dalam suku Dayak. Orang Dayak masih sangat loyal mengikuti para tokoh Partai PD yang meskipun telah tercerai berai dalam partai-partai lain. (wawancara dengan narasumber di Taum Agustus 2003). Selain itu sulitnya perkembangan PKI di kalangan Dayak juga dipicu oleh perbedaan ideologis. PKI menggunakan ideologi komunis yang berbasis pada militansi kaum buruh dan tani, sementara orang Dayak masih kental dengan adat-istiadatnya yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin adat.

Sebagaimana dengan Pengaruh politik Konfrontasi terhadap Kalimantan Barat menjadi sangat besar, karena wilayah ini adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dengan demikian Kalimantan Barat dijadikan sebagai ajang praktek lapangan bagi pilihan politik nasional dan internasional Indonesia.

B.PGRS/PARAKU, dari Kawan Menjadi Lawan
Mengingat sistem politik yang khas yang sedang berkembang dalam 1962/1963, para pemimpin Angkatan Darat tidak bisa menentang kampanye anti Malaysia secara terang-terangan jika mereka tidak ingin dituduh tidak patriotik, seperti yang telah terjadi dalam kampanye pembebasan Irian Barat. Maka Nasution dan Yani terpaksa menolak pembentukan Malaysia, dan ketika pemberontakan Azahari mereka meyakinkan, “saudara-saudara mereka di Kalimantan utara” akan simpati mereka. Pernyataan dukungan mereka tampaknya sangat dapat dipercaya mengingat kenyataan bahwa Nasution telah mengenal Azahari sejak sebelum pemberontakan itu terjadi. Yani bahkan mengumumkan bahwa Angkatan Darat hanya menanti perintah untuk turun tangan di Kalimantan Utara (Sandhaussen, halaman 302).”

Untuk mendukung Kalimantan Utara, Indonesia mengadakan kontak dengan mereka-mereka yang sangat anti terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Di Serawak mereka yang anti adalah Serawak United People Party (SUPP).
Partai ini meskipun mengaku multi rasial tapi tetap sangat tergantung pada uang dan suara Cina Serawak. Sikap oposisi SUPP terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini lebih dipicu oleh kehawatiran Cina Serawak kalau Malaysia akan memberikan hak khusus pada pribumi dan membuat mereka menjadi inferior. Oposisi ini juga bagian dari kebersamaan Cina dan diinspirasi oleh Komunis (J.A.C. Mackie, Konfrontasi ; the Indonesia – Malaysia Dispute 1963 – 1966, 1974, halaman 66-67).

Keberhasilan pembentukan federasi Malaysia membuat SUPP harus melarikan diri ke hutan-hutan perbatasan Indonesia. Mereka kemudian dengan segera ditampung oleh Indonesia yang memang mencari sekutu untuk menyerang Malaysia. Bersamaan dengan itu, pengikut Azahari yang gagal melakukan pemberontakan juga melarikan diri dan bergabung dengan SUPP di perbatasan.

Bertemunya tiga sekutu (SUPP, pengikut Azahari dan Indonesia) menjadi kreasi awal terbentuknya PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) dan Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara). Ketiganya sangat menentang pembentukan Federasi Malaysia segera membuat warna politik Kalbar berubah. Wilayah ini menjadi ajang latihan militer untuk kepentingan bersama, memerangi Federasi Malaysia. Setuju atau tidak setuju dengan Konfrontasi, militer Indonesia mendapat tugas memberikan latihan pada kedua kelompok ini.

Kodam Tanjungpura pada bulan Mei-Juni memberikan latihan kemiliteran kepada 28 orang sukarelawan SUPP (Serawak United People Party) dan dodikif 18-TDPR di Bengkayang. (Semdam. halaman 183). Tidak hanya di Bengkayang, latihan ini juga dipusatkan di daerah-daerah sekitar Singkawang (wawancara dengan narasumber di Singkawang July 2003).

Bagi para kepala kampung diterapkan pola yang khusus. Mereka dilatih secara kemiliteran di Bengkayang. Seluruh Kepala Kampung yang ikut meliputi wilayah Kewedanaan Bengkayang berjumlah hingga 2 pleton (70 orang). Mereka hanya diberikan latihan kemiliteran tanpa ada indoktrinasi politik dari salah satu partai. Pola latihan yang diterapkan menjadikan gambar Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sebagai sasaran serangan. Para peserta latihan ini setelah pulang kemudian diwajibkan untuk melatih orang di kampungnya sebagai bagian dari persiapan Konfrontasi dengan Malaysia (wawancara dengan narasumber Molo Agustus 2003).

Pola latihan untuk Konfrontasi ini juga dilaksanakan di kampung-kampung. Di beberapa kampung Dayak yang berada di Kecamatan Sanggau Ledo, setiap pemuda diwajibkan untuk setengah hari ikut latihan kemiliteran dan setengah hari boleh belalek (pola gotong royong Dayak dalam mengerjakan ladang) (wawancara dengan narusumber Agustus 2003) .

Sebagai bagian dari Konfrontasi dengan Malaysia, pada tanggal 2 Desember 1963 Subandrio yang pada waktu itu adalah Wakil Menteri Pertama/Menteri Luar Negeri dan Koperdasan (Komando Pertahanan Daerah Perbatasan) datang ke kalimantan Barat. Dalam rapat-rapat umum di Pontianak dan daerah-daerah sepanjang perbatasan dalam rangka Konfrontasi anti Malaysia, secara demonstratif ia telah memperkenalkan Azahari kepada khalayak ramai (Semdam, halaman 182).

Dalam rangka Konfrontasi, di Kalimantan Barat dan di Jawa berlangsung latihan-latihan kemiliteran bagi kaum Sukarelawan (Sukwan) yang dipersiapkan untuk Konfrontasi dengan Malaysia. Mereka yang di Kalimantan Barat dilatih dan dikirim untuk menyusup ke Malaysia.

Untuk meningkatkan kegiatan Konfrontasi, pemerintah membentuk Komando Siaga (Koga) yang dibentuk sejak bulan Juni 1964. Koga sendiri dibagi menjadi dua Komando Tempur (Kopur I Sumatera dan Kopur II Kalimantan (Semdam, halaman 185).

Desember 1964, Brigjen. Supardjo sebagai Panglima Komando tempur (Pangkopur IV/Mandau datang ke Kalimantan Barat dan mengadakan kunjungan ke berbagai daerah perbatasan. Komando Siaga diubah menjadi Komando Mandala Siaga pada bulan Maret 1965 (Semdam, halaman 187).

Meski tampak menyetujui politik Konfrontasi, sebenarnya Angkatan Darat diam-diam tidak mendukungnya. Kedudukan Supardjo sebagai Panglima Komando Tempur sendiri sebenarnya tidaklah berarti. Ini merupakan taktik Angkatan Darat untuk meminimalisir pengaruh komunis dalam organisasinya.

Mereka (Angkatan Darat) menempatkan perwira-perwira senior dengan pandangan yang condong ke kiri biasanya diberi jabatan komando yang tidak begitu penting atau tidak penting sama sekali. Contohnya Brigjen Soepardjo, seorang perwira Siliwangi yang beraliran kiri, diangkat menjadi panglima tempur di Front Kalimantan tapi tidak diserahkan komando atas pasukan (Sandhaussen, halaman 298). Keadaan ini menyebabkan Konfrontasi dengan Malaysia tidak berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Soekarno.

Politik Konfrontasi ini mencatat anti klimaks saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikomandoi oleh Letnan Kolonel Untung gagal. Gerakan yang menculik dan membunuh Jenderal-jenderal Angkatan Darat ini segera mendapatkan perlawanan yang hebat. Pemberontak berhasil ditumpas habis.

Masih banyak yang kabur tentang dalang Gerakan 30 September. Banyak yang mengaitkan gerakan ini dengan PKI. Namun ada pula yang menganggapnya sebagai konflik internal Angkatan Darat. Tapi yang jelas cukup sulit untuk menghubungkan Gerakan 30 September, dengan PKI khususnya di Kalimantan Barat. Sebagai sebuah organisasi politik yang mempunyai basis massa yang kuat, ternyata PKI Kalimantan Barat tidak mengetahui perkembangan gerakan. Mereka bahkan harus bertanya pada Panglima Kodam Tanjungpura untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta (Semdam, halaman 223).

Di Kalimantan Barat juga terjadi gejolak sebagai reaksi dari Gerakan 30 September. Tanggal 16 Oktober 1965, Pelaksana Penguasa Daerah (Pepelrada) Kalimantan Barat mengeluarkan perintah pembekuan PKI. Dua hari kemudian terjadi demonstrasi anti PKI di Pontianak. Demonstrasi ini mengobrak-abrik kantor CDB (Central Daerah Besar) PKI, ke rumah Sofyan (ketua CDB PKI Kalimantan Barat) di Kota Baru (Semdam halaman 225). Para pengurus PKI dan pengikutnya segera menyelamatkan diri. Sebagian lari ke hutan, sebagian ditangkap oleh tentara.

Penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto menyebabkan perubahan yang drastis. Perubahan ini terlihat dalam politik dalam dan luar negeri yang dimainkan Soeharto.

Berbekal Supersemar, Soeharto kemudian secara resmi membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Langkah Soeharto ini sebenarnya hanyalah langkah simbolik. Pamor PKI sebagai partai politik terbesar kelima hancur ketika Gerakan 30 September berhasil dibekuk.

Kehancuran ini juga dipertegas dengan pembentukan opini publik yang terus-menerus tentang “kebiadaban PKI” dalam menculik para Jenderal Angkatan Darat (Stanley, Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (fitnah dan fakta penghancuran organisasi perempuan terkemuka), 1999, halaman 1).

Soeharto juga membentuk membentuk Kabinet Ampera yang terdiri dari sebuah presidium yang beranggotakan lima menteri utama dan 24 menteri. Di dalam kabinet itu duduk 12 anggota ABRI, 6 di antaranya dari Angkatan Darat. Dari 84 jabatan Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal, 32 dipegang oleh anggota ABRI. Secara De Facto Soeharto bertindak sebagai Perdana Menteri (Sandhaussen, 417).

Gagalnya Gerakan 30 September dan naiknya ABRI khususnya Angkatan Darat ke pucuk pimpinan membuat terjadi perubahan besar di Kalimantan Barat. Situasi politik berubah, tentara berusaha memasukkan orang-orangnya untuk duduk di pemerintahan. Pembersihan dilakukan baik di DPRD-GR maupun di pemerintahan.

Dengan Instruksi Mendagri No. 13 Tahun 1966 tanggal 1 Februari 1966, susunan DPRD-GR berubah menjadi 46 orang dengan susunan sebagai berikut :
a.22 orang dari golongan politik, yaitu :
b.IPKI 6 orang
c.PNI 5 orang
d.NU 4 orang
e.PSII 1 orang
f.Parkindo 1 orang
g.Katholik 1 orang
h.Murba 1 orang
i.Partai Muslimin Indonesia 2 orang
j.Dari 24 Golkar, antara lain 4 orang dari Angkatan 66/Mahasiswa.

Meski tidak resmi menempatkan wakilnya di DPRD-GR, namun ABRI menempatkan Kapten Dr. Abdulhadi sebagai ketua DPRD-GR (Sejarah Singkat, halaman 23).

Pucuk pimpinan daerah juga diganti. Mendahului Keputusan Presiden, Mendagri, Letjen. Basuki Rachmad dengan Surat Keputusan No. UP.12/2/43-912 Tanggal 12 Juli 1966, memberhentikan dengan hormat J.C. Oevang Oeray sebagai Kepala Daerah Propinsi Kalbar dan dengan Keputusan yang sama menunjuk Letnan Kolonel (Overstee) Soemadi BcHk sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tk I Kalbar (Sejarah Singkat, halaman 24).

Dengan kabinet yang mayoritas dikuasai oleh ABRI, maka sangat mudah Soeharto membalikkan pilihan politik Konfrontasi yang dilakukan Soekarno. Angkatan Darat khususnya memperlihatkan kehendak politik mereka yang sebenarnya tidak menyetujui politik Konfrontasi. Karenanya upaya-upaya perundingan dengan Malaysia dilakukan untuk mencapai perdamaian.

Pada 28 Mei 1966, Soeharto mengirimkan misi dibawah pimpinan Wakil Panglima I Kolaga Laksda (l) O.B. Sjaaf ke Kuala Lumpur untuk membawa pesan pribadi Soeharto. 29 Mei sampai 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara Menlu Adam Malik dengan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok. 13 - 14 Juni 1966 datang ke Indonesia Misi Perekonomian Malaysia di bawah pimpinan Tun Gozali Sjafei. Pada tanggal 17 Juli 1966, Indonesia mengirimkan Misi Pencari Fakta ke Singapura. Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta, yang dikenal dengan nama Jakarta Accord yang ditandatangani oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak bin Dato Hussein (Semdam, halaman 194). ***

BAB IV
DEMONSTRASI, MENGGUNAKAN DAYAK UNTUK MENYARING CINA KOMUNIS

A.Kesulitan Tentara Membekuk PGRS/Paraku
Pergantian biduk politik Jakarta membawa pengaruh besar ke Kalimantan Barat. Sebagai kelanjutan dari normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia, 4 September 1966 telah diberangkatkan ke Malaysia, Misi Militer Indonesia di bawah pimpinan Brigjend. Soedarsono Prodjomiseno.

Perundingan berlangsung sampai tanggal 15 Desember 1966, dan menghasilkan persetujuan :
1.Record of understanding on non military matters : post and telecomunications, agriculture and fisheries, imigration and related matters, trade, banking and exchange control, transport, education and research, information, film, broadcasting, culture, youth and sports.
2.Security arrangements on the border regions :
a.Tata cara kerjasama antara Komando Perbatasan dari kedua belah pihak dengan
kemungkinan operasi bersama baik yang bersifat ”cordinated” maupun “joint”.
b.Memudahkan pelaksanaan naskah itu, perlu segera ditempatkan team-team penghubung
: untuk Indonesia di Kuala Lumpur, Kuching dan Tawao; untuk Malaysia di Jakarta,
Pontianak, Tarakan.
c.Masalah perbatasan kedua negara di daratan Kalimantan dan perangkat teritorial
akan dibahas lebih lanjut (Semdam, Halaman 196).

Kesepakatan kedua belah pihak ini membuat posisi PGRS/Paraku dalam keadaan terjepit. Di satu sisi, keduanya tidak mungkin lagi mendapatkan dukungan Indonesia untuk mendirikan Kalimantan Utara yang merdeka dan bebas dari Federasi Malaysia. Di sisi lain, mereka dimusuhi di Serawak. Posisi yang sama juga dialami oleh Sukarelawan yang loyal pada Soekarno dan para simpatisan PKI di bawah pimpinan Sofyan yang menjadi terusir oleh runtuhnya kekuasaan Soekarno di Indonesia.
Persamaan nasib dari ketiga kelompok ini membuat mereka kemudian menjadi satu kelompok baru yang memiliki musuh yang sama yakni pemerintahan baru Indonesia dan Federasi Malaysia. Ketiganya juga menjadi semakin kuat karena kuatnya persamaan ideologi komunis yang mereka anut yang ingin membebaskan Asia dari pengaruh kolonialisme dan imperialisme barat.
Menghadapi hal ini, pasukan ABRI awalnya melakukan tindakan persuasif. Mereka menyadari bahwa kekuatan pasukan PGRS/Paraku dengan ditambah golongan PKI yang melarikan diri tidak bisa dianggap enteng.
Tentara mencatat sampai pertengahan tahun 1965, kekuatan Sukwan Cina 836 orang dengan kekuatan senjata 538 pucuk. Lokasinya di Semakuan 200 orang, di Kartiasa dan Sajingan Hulu 91 orang., Entapai 199 orang dan Benua Martinus 198 orang (Semdam, halaman 273).

Tentara mempergunakan perbedaan lokasi untuk menandai kedua kelompok ini. PGRS adalah kelompok yang berada di wilayah Kabupaten Sambas (waktu itu). Paraku adalah kelompok yang berada di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu.

Menurut tentara, perkiraan dislokasi gerombolan PGRS/Paraku :
1.PGRS pimpinan Liem A Liem. Kekuatan 450 orang daerah, Gunung Sentawi Sempatung dan Sungkung komplex.
2.PGRS pimpinan Lay Paa Ka. Kekuatan kira-kira 30 orang daerah segitiga : kampung Enturuk, Kampung Pol dan Kampung Meret.
3.Paraku pimpinan A. Chong (Jusuf Said) jumlah 45 orang di Melancang /Gunung Tutup.
4.Paraku pimpinan Lo Pheng (Benua Martinus/Bukit Beti Komplek) (Semdam halaman 247).

Kekuatan yang meskipun hanya ratusan orang ini adalah sebuah kekuatan yang sangat mengancam. Pertama PGRS/Paraku adalah pasukan dengan ideologi militan yang memiliki pengalaman tempur yang terlatih. Kedua, mereka pandai dalam mengambil hati orang-orang Dayak di pedalaman untuk tidak memusuhi mereka. Ketiga, PGRS/Paraku sangat menguasai medan dan dengan sangat mudah menghilang begitu usai pertempuran. Keempat, mereka mendapatkan dukungan logistik dari orang Cina yang bersimpati terhadap komunis (dikenal Dayak dengan nama Bintang 5).

Untuk meredam PGRS/PARAKU, ABRI melaksanakan penjinakkan untuk membujuk para gerilyawan tersebut. Operasi penjinakkan ini juga diberi nama yang sangat moderat yakni Operasi Tertib. Operasi Tertib pertama dilakukan pada Oktober 1966 sampai Desember 1966. Operasi ini berlanjut dengan Operasi Tertib II dari Bulan Januari 1967 sampai Maret 1967 dibawah pimpinan Panglima Kodam XII Brigjen. Ryacudu (Semdam hal 234). Operasi ini sebenarnya adalah operasi pendekatan semata dan bukan operasi militer. Karenanya tidak terjadi pertempuran-pertempuran antara ABRI dengan PGRS/Paraku.

Kepada para sukarelawan (PGRS/Paraku) diumumkan untuk mengadakan konsolidasi di tempat-tempat yang telah ditentukan. Namun hanya 99 orang yang memenuhi permintaan ini (Semdam, Halaman 235).

Penolakan perintah menyerah oleh pasukan PRS/Paraku ini membuat ABRI memutuskan melakukan tindakan yang lebih keras. Mereka digolongkan sebagai pemberontak. Usai Konfrontasi, komposisi PGRS/Paraku berubah menjadi 4 (empat) elemen yakni : Sisa Sukarelawan yang dikirim ke Malaysia untuk Konfrontasi, Pasukan pengikut Azahari dari Brunai, pasukan pengikut Serawak United People Party (SUPP) dan para pengikut dan simpatisan PKI di Kalimantan Barat yang terusir.

Masih di bawah kepemimpinan Pangdam Ryacudu, ABRI melaksanakan Operasi Sapu Bersih I (April 1967 – Juli 1967). Meski sebagian kecil ada yang menuruti perintah, ABRI memperkirakan kekuatan PGRS/Paraku masih sangat kuat.
Kontak senjata mulai terjadi. Dalam operasi sapu bersih pertama, pasukan TNI yang gugur 29 orang. Tentara mengakui kelemahan pasukannya disebabkan faktor-faktor kelemahan lain dari pasukan adalah :
a.Kekuatan yang sangat kurang dibanding dengan luas daerah.
b.Jon 541 dan 642 terdiri dari anggota-anggota yang masih remaja, belum mendapatkan pengalaman tempur dan belum mendapatkan Unit training maupun battle training yang intensif.
c.Pimpinan pasukanpun terdiri dari pimpinan-pimpinan muda yang sebagian besar belum berpengalaman tempur (Semdam halaman 255).

Korban yang terus berjatuhan di kalangan ABRI membuat terjadi pergantian pucuk pimpinan di Kalimantan Barat. Brigjen. Ryacudu diganti oleh Brigjen A.J. Witono yang resmi menjabat pada 30 Juni 1967. Komandan baru adalah seorang Perwira Siliwangi Katolik yang terkenal anti komunis. Witono juga paham tentang Cina dan berpengalaman mengatasi kerusuhan anti Cina yang terjadi saat ia menjadi Komandan Korem di Cirebon pada Maret 1963 (Sandhaussen,halaman 312). Di bidang pemerintahan, Letkol. Iwan Supardi yang semula hanya Pejabat Gubernur, dengan Kepres RI No. 88 Tahun 1967 pada 1 Juli 1967 resmi menjadi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat (Sejarah singkat, halaman 24).

Pergantian pucuk pimpinan ini tidak membuat pemberontak takut. Baru enam enambelas hari menjabat, Witono mendapatkan tantangan yang keras dari pemberontak. Pada 16 July 1967, pemberontak menyerang Lapangan Udara II milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Sanggau Ledo.

Serangan dari 20 orang tentara pemberontak membuat tentara yang berkekuatan 65 orang, tak berdaya. Akibatnya 5 orang tewas, dan pemberontak membawa 150 pucuk senjata dan peluru. Sebuah pesan ditinggalkan di gudang beras yang berisi, ”Kami pinjam senjata untuk melawan imperialisme Inggeris Malaysia,” (Semdam 255-259). Kecepatan, penguasaan medan dan pengalaman tempur membuat para pelaku penyerangan ini tidak bisa tertangkap oleh tentara.

Serangan ini juga yang membuat tentara melakukan operasi yang lebih keras. Secara khusus serangan di Sanggau Ledo ini dibahas oleh penguasa baru Indonesia Jenderal Soeharto pada rapat Penguasa Daerah/PANGDAM di Istana Negara pada 26-28 Juli 1967 (Semdam, halaman 260). Hasil dari rapat ini, maka pada 8 Agustus 1967, Kalimantan Barat secara resmi menjadi “Daerah Operasi” dan dua unit baru dari Jawa dan Sumatera dikirim ke daerah ini (Penumpasan terhadap Gerombolan Tjina Komunis di Kalimantan Barat, halaman 2).

Keseriusan penanganan ini membuat tentara kemudian menjalankan Operasi Sapu Bersih II. Operasi direncanakan dalam tiga tahap :
a.Operasi persiapan dan pengintaian (Agustus sampai dengan Desember 1967).
b.Operasi penghancuran (Januari 1968 – Juni 1968).
c.Konsolidasi dan pembangunan (Juli 1968 – februari 1969) (Semdam halaman 262).
Pencanangan Operasi Sapu Bersih ini tetap saja sulit untuk menghadapi Gerakan Pemberontak yang menggunakan taktik gerilya. Tercatat selama bulan Oktober terjadi 15 kali kontak senjata dengan pemberontak (Semdam, halaman 270).

Tentara mengalami kesulitan yang sangat besar untuk meredam aksi pemberontak. Kesulitan ini dipicu oleh berhasilnya pemberontak mengadakan hubungan baik dengan orang-orang Dayak yang berdiam di lokasi-lokasi dekat markas pemberontak.

Tentara mengakui kesulitan ini dan memuji keberhasilan pemberontak melakukan pendekatan teritorial pada orang Dayak. Ini menyebabkan kekhawatiran yang sangat dalam bahwa pemberontak lambat laun akan di dukung oleh orang Dayak. Kekhawatiran ini terlihat jelas saat tentara menggambarkan sulitnya mereka meyakinkan bahwa pemberontak harus dimusuhi oleh orang Dayak.

Dalam buku resminya tentara mengatakan, “Pada mulanya di daerah Kapuas Hulu, misalnya, gerombolan Cina komunis lebih berhasil dalam bidang teritorial. Suku-suku pada daerah tersebut selalu mengatakan tidak berkepentingan dalam soal penumpasan gerombolan Cina komunis oleh karena menurut anggapan mereka GTK (Gerombolan Tjina Komunis) tidak merugikan mereka, bahkan menurut mereka gerombolan dipandang baik hati karena mau memberikan pengobatan, membantu berladang dan tidak mengganggu harta milik mereka. Hal semacam ini pernah juga terdapat di daerah Sungkung,” (Semdam halaman 273).

Kesulitan tentara ini bisa dimaklumi, karena perilaku tentara yang suka memukul dan menyiksa orang Dayak bertentangan dengan perilaku kaum pemberontak yang bersikap baik pada orang Dayak. Hampir seluruh responden yang diwawancarai menceritakan kekecewaan dan pengalaman mereka yang sering disiksa oleh tentara selama masa operasi militer.

Orang Dayak yang berdiam di sekitar kabupaten Bengkayang dan Pontianak, bukannya tidak tahu tentang keberadaan PGRS/Paraku. Responden di sekitar Ledo dengan fasih menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan Cina PGRS yang berdiam di kampung Piongsan dan Sepang. Sebuah daerah yang bisa dicapai juga melalui Sungai Selakau. Responden juga mengetahui kalau kelompok orang Cina terpecah menjadi dua bagian. Sebagian komunis dan sebagian tidak. Mereka yang komunis dikenal orang Dayak sebagai golongan Bintang 5, sedang mereka yang non komunis adalah golongan Bintang 12. Namun karena selama ini PGRS tidak pernah mengganggu Dayak, maka pertikaian antara keduanya tidak terjadi.

B.Provokasi Awal Menyaring PGRS/Paraku
Kegagalan membekuk PGRS/Paraku dengan cepat membuat pihak milliter melakukan cara lain. Mereka melakukan provokasi untuk menggunakan orang Dayak agar menyerang orang Cina. Cara ini adalah untuk menyaring pemberontak agar mereka tidak bisa mendapat dukungan logistik dari Cina komunis yang hidup di pemukiman.
Pada 3 September 1967, tentara menyebutkan bahwa 9 orang Dayak diculik dari Kampung Taum, Kecamatan Sanggau Ledo, dan kemungkinan dilakukan oleh Gerombolan Tjiina Komunis (GTK). Dua hari kemudian Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menemukan mayat mereka. Beberapa hari kemudian juru bicara Kodam XII Tanjungpura mengatakan pada Harian Angkatan Bersenjata bahwa, ”Dayak seharusnya menuntut balas, darah dengan darah,” (Angkatan Bersenjata 21 September 1967).
Pernyataan ini sangatlah tidak benar. Responden yang dihubungi oleh peneliti yang saat itu adalah Kepala Kampung Taum membantah klaim tentara. Pertama bahwa 9 orang yang terbunuh bukan semuanya Dayak mereka terdiri dari orang Dayak, Cina, Melayu dan Bugis. Kesembilan orang ini disuruh oleh tentara untuk pergi ke Gunung Merbukan dan membujuk pemberontak agar menyerah.
“Sebenarnya saya juga disuruh pergi. Tapi saya tidak mau karena saat itu saya mau ke ladang dengan isteri saya. Saya dan isteri berpapasan deengan mereka (sembilan orang tersebut) dan sempat bertegur sapa. Saya bilang ke isteri saya ini bahaya, sebab mereka tidak bawa takin (alat pemikul Dayak) dan bisa dianggap sebagai tentara. Memang benar, tidak lama kemudian kami mendengar suara letusan senjata. Selama itu kita sering berpapasan dengan PGRS namun mereka tidak mengacau kami, syaratnya adalah kami kalau ke hutan atau ke gunung harus bawa takin, sebagai bukti kami ke ladang dan tidak bawa senjata.” (wawancara di Kampung Taum, Agustus 2003).
Penyimpangan berita yang dilakukan oleh tentara, provokasi pertama ini sangat tidak berhasil. Perkampungan-perkampungan Dayak yang berada di daerah Kabupaten Bengkayang tidak memberikan reaksi apapun terhadap peristiwa ini. Responden yang dihubungi di kampung-kampung Kecamatan Sanggau Ledo dan Ledo mengaku tidak pernah mendengar peristiwa tersebut.
Provokasi kedua dilakukan oleh tentara dengan menyebutkan bahwa PGRS/PARAKU membunuh seorang Dayak yang dikabarkan sebagai seorang temenggung di Bengkayang. Cerita yang beredar menyebutkan bahwa tubuhnya dipotong dan ditubuhnya ditemukan tulisan yang berhuruf Cina (Semdam, halaman 274).
Namun seorang responden yang dihubungi oleh penulis dan mengaku sebagai salah satu pemimpin gerakan demonstrasi mengaku bahwa orang tersebut bukanlah seorang temenggung. “Dia adalah seorang kurang waras yang memang sengaja kami korbankan untuk itu.” (wawancara, Juli 2003).
Provokasi kedua ini juga tidak berhasil, karena tidak semua orang Dayak mengetahui peristiwa tersebut. Responden yang dihubungi di daerah Menjalin dan di Kecamatan Ledo dan Sanggau Ledo mengatakan tidak mengatahui peristiwa tersebut. Responden yang dihubungi di Menjalin menyatakan bahwa berita yang mereka dengar, bahwa yang terbunuh adalah sepasang suami isteri dimana alat vital keduanya dipotong dan dimasukan ke dalam mulutnya (wawancara di Menjalin, Agustus 2003).
Satu cerita yang didengar oleh hampir seluruh responden adalah peristiwa pencegatan yang dilakukan oleh PGRS terhadap rombongan tentara yang hendak pergi ke Sanggau Ledo. Dalam rombongan itu menumpang Camat Ahie bersama dengan anaknya yang masih kecil (Libertus Ahie). Keduanya selamat dari aksi penyergapan (wawancara dengan responden, July – Agustus 2003).
Satu hal yang jelas dirasakan oleh responden, bahwa pada masa pertempuran tentara dengan PGRS/Paraku adalah kehidupan yang serba sulit. Orang Dayak merasa serba salah dalam kehidupan sehari-hari. Jika mereka bersikap sedikit menolak permintaan tentara maka mereka akan dicap sebagai PGRS dan diancam akan dibunuh (wawancara dengan narasumber di Ledo).
Seorang responden mengaku bahwa ia berkirim surat pribadi pada Oevang Oeray (tokoh Dayak dan Mantan Gubernur), untuk meminta agar pemerintah mengeluarkan orang Cina yang berdiam di hutan-hutan (Wawancara di Ledo, Agustus 2003).
Sumber resmi militer menyebutkan bahwa tak lama setelah peristiwa pembunuhan “temenggung” tersebut, pemuka-pemuka Dayak datang kepada Oevang Oeray untuk meminta pendapatnya. Oleh Oevang dikeluarkan tiga pokok persoalan yaitu :
a.PGRS dan PARAKU adalah komunis, dan komunis tidak beragama. orang Dayak adalah orang yang beragama, karenanya orang Dayak tidak bisa hidup dengan komunis. Jadi PGRS dan PARAKU harus diganyang.
b.PGRS dan PARAKU mengganggu keamanan yang berakibat juga keamanan orang-orang Dayak terganggu dalam mencari kehidupannya sehari-hari. Untuk mencari kemajuan, perlu adanya ketenangan dan keamanan. Karena PGRS dan PARAKU mengganggu keamanan, maka harus diganyang.
c.Dalam PGRS dan PARAKU mengganggu keamanan orang suku Dayak maka mau tidak mau harus juga terseret-seret yang akan menimbulkan korban waktu dan jiwa. Dari pada korban waktu pasif, lebih baik korban sewaktu aktif dan turut menganyang PGRS dan PARAKU (Semdam halaman 275).

Menurut Davidson dan Kammen, setelah Konsultasi dengan Oevang, pengumuman “perang melawan Cina diumumkan di radio” dan sebuah Laskar bernama Laskar Pangsuma dibentuk untuk “memimpin dan menyalurkan gerakan spontanitas ..... sesuai dengan instruksi...”. Ada kecurigaan sebagian sumber yang menganggap bahwa pengumuman tersebut dibuat oleh militer dan suara yang digunakan bukanlah suara Oevang. (Davidson and Kammen, halaman 70).
Namun, seorang responden yang mengaku sangat dekat dengan Oevang menyatakan bahwa memang keputusan untuk memerangi PGRS/Paraku diambil oleh Oevang dan konsep surat itu dibuat sendiri dan dibacakan oleh Oevang di RRI Pontianak (wawancara , July 2003).
Pengumuman ini tampaknya tidak sampai ke kampung-kampung (wawancara dengan responden di Ledo). Ini dapat dimengerti karena tidak semua kampung memiliki radio, yang merupakan barang mewah pada waktu itu. Selain itu keberadaan Laskar Pangsuma ternyata tidak dikenal-kenal di kampung-kampung yang berada di dekat tepi jalan raya dan yang jauh di pedalaman. Tampaknya bahwa pembentukan Laskar Pangsuma ini hanya sebatas mengorganisir gerakan saja tidak sampai menjalankan gerakan demonstrasi.
Mengapa Oevang Oeray menjadi juru bicara untuk mengganyang PGRS/Paraku ? Kedudukan Oevang Oeray saat itu di mata orang Dayak adalah sangat sentral. Meskipun tidak lagi menjadi gubernur, suara Oevang tetap akan didengar oleh orang Dayak. Oevang juga menurut peneliti memiliki kepentingan sendiri. Ia saat itu aktif sebagai pengurus Partindo, sebuah Partai yang secara resmi disebut militer disusupi oleh komunis. Dengan mengambil kepemimpinan pengganyangan PGRS/Paraku yang juga dicap komunis, maka Oevang bisa membersihkan stigma dirinya sebagai penganut komunis.
Yang jelas, responden yang dihubungi ada yang menyatakan pernah membaca pengumuman Oevang dan ada yang tidak. Mereka yang membacanya mengatakan pengumuman itu bukan untuk menumpas orang Cina, tetapi untuk menyuruh orang Cina pergi dari tempat tinggalnya dan pindah ke kota kecamatan terdekat.
Selanjutnya sumber resmi militer menyebutkan bahwa ada upacara adat pemabang yang digelar antara orang Dayak dan Cina setelah peristiwa pembunuhan “temenggung” di atas. Namun tidak disebutkan di mana upacara tersebut dilakukan dan kapan peristiwa tersebut dilakukan (Semdam halaman 275-276).
Ketidakjelasan tempat ini mengundang pertanyaan. Semula peneliti berasumsi bahwa upacara ini seharusnya dilakukan di Bengkayang atau setidaknya di dekat Sanggau Ledo. Namun semua responden yang dihubungi oleh penulis juga tidak ada yang bisa menceritakan bahwa mereka pernah mendengar tentang upacara adat ini. Padahal mereka bertempat tinggal di dekat Bengkayang dan merupakan tokoh-tokoh Dayak di kampungnya.
Keanehan ini juga terlihat dari pernyataan resmi tentara berikutnya, bahwa terjadi pertempuran antara pasukan tentara dengan pemberontak pada tanggal 13 Oktober 1967 di Gunung Merebuk. Tentara mengklaim bahwa jumlah pemberontak yang tewas sebanyak 46 orang, sebagian yang tertangkap dan sebagian yang mati adalah Cina yang mengikuti upacara Pemabang tersebut (Semdam halaman 276). Ketidaknyambungan dan keanehan ini membuat peneliti berkesimpulan bahwa kemungkinan besar upacara adat ini adalah rekayasa dari pihak tentara semata.

C.Demonstrasi, Mangkok Merah dan Pola Kekerasan
Provokasi-provokasi tentara kepada orang Dayak mencapai klimaksnya pada pertengahan Oktober. Tampak jelas tentara telah melakukan operasi intelijen yang sangat kuat. Hampir di setiap kampung, telah tumbuh pemahaman bahwa Cina sama dengan PGRS/Paraku dan PGRS/Paraku sama dengan komunis.
Operasi intelijen tentara ini mendapatkan dukungan dari sebagian elit Dayak dari Pontianak. Seorang responden menyebutkan bahwa pada tanggal 10 Oktober 1967, ia mendapatkan sebuah surat yang diberikan oleh tentara yang menyatakan surat itu dibuat oleh PKI. Surat itu menyebutkan bahwa orang Dayak jangan coba-coba bekerjasama dengan ABRI kalau tidak akan menjadi musuh PGRS.
Responden yang sama juga menyebutkan bersamaan dengan surat tersebut datang pula surat undangan menghadiri pertemuan pada 11 Oktober 1967. Seluruh Kepala Kampung di wilayah Kewedanaan Bengkayang diminta untuk datang ke Samalantan untuk sebuah pertemuan besar. Pertemuan ini dihadiri oleh Oevang Oeray dan dijaga ketat oleh Tentara dari Pasukan Kujang 328 dan Batalyon 641. Dalam pertemuan ini Oevang memerintahkan kepada seluruh kepala kampung tersebut untuk bersiap-siap menunggu hari yang disebutnya sebagai hari: ”Gerakan Demonstrasi” (wawancara Agustus 2003).
Tak lama setelah pertemuan ini, tentara menyebutkan bahwa proses pengusiran terjadi pada tanggal 14 Oktober 1967, saat massa Dayak di Kampung Taum mulai melakukan serangan terhadap orang-orang Cina dengan membakar rumah dan membunuh orang Cina. Serangan ini kemudian meluas ke Kecamatan Serimbu, Sei Betung, Sebakuan, kampung-kampung Kecamatan Selakau, Kecamatan Samelantan, Kampung Tumang dan sekitarnya Kecamatan Mempawah Hulu, Kampung Menjalin, di Kecamatan Menjalin, Kecamatan Mandor dan Capkala di Kecamatan Sungai Raya, Kampung Toho, Sangking, Sei Pinggan di Kecamatan Toho, Kampung Sosok dan kampung-kampung sekitar Ngabang, Kembayan di daerah Kabupaten Sanggau dan lain-lain. (Semdam 276-277). Tampaknya pertemuan Samalantan inilah yang dijadikan alat mobilisasi massa untuk apa yang disebut dengan Demonstrasi.
Menelusuri peristiwa Demonstrasi, peneliti mendapatkan fakta yang sangat mengejutkan dalam pola gerakan dan pola kekerasan yang dipakai. Pola ini tidaklah dirancang untuk dibagi dari awal, namun berdasarkan dinamika lapangan. Untuk itu peneliti membaginya menjadi dua pola.

1.Pola Kabupaten Sambas
Selama ini tumbuh pemahaman bahwa selama masa demonstrasi Mangkok Merah beredar dari satu kampung ke kampung lain dengan mangkok yang sama. Ternyata pemahaman ini sangat salah. Di Kampung Taum, sebagai apa yang disebut tentara pengusiran tanggal 14 Oktober, tidak ada seorang responden pun yang menyebutkan adanya Mangkok Merah yang beredar.
Bertentangan dengan klaim tentara yang menyebutkan bahwa orang Dayak Kampung Taum melakukan penyerangan terhadap orang Cina, responden yang diwawancarai menyatakan itu tidak benar. “Kami memang membawa mandau tapi bukan untuk membunuh orang Cina. Kami mengawal mereka hingga di ibukota kecamatan,” (wawancara di Kampung Taum).
Penelusuran peneliti juga memperlihatkan bahwa Mangkok Merah ini juga tidak diketemukan di Molo karena kepala kampung tidak menyebutkan adanya Mangkok Merah yang melewati kampungnya. Ini agak aneh karena Molo sebenarnya kampung yang paling dekat dengan basis Cina PGRS di Piongsan.
Pengakuan seorang responden di Lumar menyebutkan bahwa memang benar ada penggunaan Mangkok Merah oleh orang Dayak untuk memobilisasi masa agar melakukan pengusiran terhadap orang Cina. Namun penggunaan Mangkok Merah tersebut bukanlah ide dari orang Dayak (kepala adat) melainkan dibuat oleh seorang polisi. Mangkok Merah yang diedarkan hanyalah sebuah mangkok yang berisi daun sabang, arang dan perasak (dinding rumah dari bambu) dan tanpa darah babi. Pesannya sangat jelas, yakni bahwa orang Dayak harus melakukan pengusiran terhadap Cina tapi hanya mengusir mereka dari rumahnya dan tidak diperkenankan untuk membunuh. Mangkok Merah seperti ini juga yang beredar dan sampai di kampung-kampung di Samalantan.
Tidak ada seorangpun responden yang bisa mejelaskan darimana mengkok merah yang datang ke kampung mereka. Responden juga menyatakan bahwa mereka tidak bisa menolak perintah mengusir Cina karena secara adat hal itu tidak dibenarkan.
Pola kabupaten Bengkayang memperlihatkan pola penanganan yang “lembut” terhadap kalangan Cina. Penduduk Cina yang berdiam di kampung-kampungnya, didatangi oleh tokoh-tokoh Dayak dari kampung tetangganya. Mereka meminta agar orang Cina tersebut pergi dari tempat tinggalnya dan berkumpul di tempat yang mudah untuk diangkut ke Bengkayang dan Singkawang. Kedua daerah ini merupakan daerah saringan bagi Cina di Kabupaten Sambas (Wawancara, July 2003).
Ini terlihat dengan jelas saat tokoh Dayak Kampung Lumar dan Molo mendatangi orang Cina yang bermukim di daerah Lumar, Madi, Sepang dan Piongsan Kecamatan Ledo. Para tokoh Dayak ini meminta orang Cina tersebut keluar dan berkumpul di Lumar berdasarkan perintah dari Camat Ledo, Ahie. Tidak semua Cina yang di datangi mengikuti perintah tersebut. Mereka yang berdiam di Sepang dan Piongsan sebagian kecil saja yang mau pergi. Sebagian lagi memilih lari ke hutan karena ketakutan (wawancara dengan responden di Ledo).
Mengapa terjadi pengusiran ini ? Hampir seluruh responden di Kabupaten Sambas menyebutkan bahwa mereka melakukannya karena takut pada perintah tentara dan takut melanggar “perintah” Mangkok Merah. Jika tidak melakukan pengusiran mereka khawatir akan dibunuh tentara dan akan mendapatkan celaka karena tidak mentaati adat.
Kepergian orang Cina dari tempat tinggalnya menyebabkan rumah dan kebun-kebun mereka menjadi kosong. Orang Dayak kemudian menduduki peninggalan-peninggalan Cina ini. Mereka membaginya menurut kampungnya. Perhitungannya adalah mereka yang berdiam di kampung terdekat dengan kampung orang Cina, itulah yang mendapatkan “hak” untuk menguasai peninggalan orang Cina. Pembagian untuk tiap warga kampung dilakukan oleh kepala kampung masing-masing. Ada kampung yang menggunakan sistem undi. Ada pula kampung yang menggunakan sistem asal tunjuk saja dari kepala desa.

2.Pola Kabupaten Pontianak
Pola demonstrasi yang dipakai di Kabupaten Pontianak sudah berbeda sejak awal. Mobilisasi massa digunakan Mangkok Merah yang lengkap dengan darah babi. Namun anehnya pada saat awal tidak terjadi pembunuhan.
Demonstrasi di Menjalin dimulai pada tanggal 17 Oktober 1967, dimulai pada dini hari dan secara mendadak, dengan menggunakan Mangkok Merah sebagai mobilisasi massa. Minggu-minggu pertama menurut Hulten, tidak terjadi pembunuhan, yang terjadi adalah pengusiran orang Cina dari rumah kediamannya (Herman, halaman 281). Orang-orang Cina, yang diusir tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagian besar mereka memilih mengungsi dan sebagian kecil melarikan diri ke hutan-hutan.
Pertumpahan darah baru terjadi saat minggu-minggu selanjutnya. Pada 28 Oktober, suatu gerakan dari sekelompok Dayak dari Kampung Gadok bergerak memasuki dan memprovokasi penduduk kampung. Gerakan dari Gadok yang terletak di daerah perbatasan Sangking dengan Capkala dan Mandor ini dengan segera memicu kekerasan dan pembunuhan. Pasukan dari Gadok ini menggerakkan orang Dayak dari Sangking, Toho, Karangan, Darit dan Menjalin serta Anjungan untuk melakukan kekerasan terhadap orang Cina. Siapa saja orang Cina yang ditemui, dibunuh dan dibantai. (wawancara dengan responden, di Pontianak Agustus 2003).
Sementara di Senakin, pembunuhan secara besar-besaran dimulai pada waktu Buterpra (Hansip) dengan menggunakan Hanra yang terdiri dari WND yang dipersenjatai telah mempergunakan tembakan untuk menakut-nakuti para demonstran. Pada permulaannya, hal ini ada pengaruhnya, akan tetapi setelah secara tidak sengaja ada demonstran yang terkena peluru nyasar yang mengakibatkan luka parah dan kemudian seorang meninggal, maka pada hari kedua timbul kembali penyerangan yang lebih besar dan sekaligus di beberapa tempat dengan disertai pembunuhan (Semdam halaman 277).
Seorang responden menyebutkan bahwa demonstrasi paruh kedua ini banyak memakan korban jiwa. Mayat korban biasanya dibuang langsung ke Sungai Menjalin dan Sungai Darit. Ini menyebabkan selama beberapa waktu, orang tidak mau makan ikan dan mengambil air dari sungai-sungai yang ada di Kabupaten Pontianak.
Sama halnya dengan pola Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Pola Kabupaten Pontianak menetapkan daerah saringan pula. Menurut seorang responden, orang Dayak tidak diperkenankan untuk memasuki daerah Sungai Pinyuh dan Mempawah. Itu merupakan batas bagi gerakan demonstrasi.
Berbeda dengan Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Kabupaten Landak menerapkan pola berbeda dalam membagi hasil peninggalan Cina. Seorang responden menyebutkan bahwa pola pembagian dilakukan dengan satu cara yakni ditunjuk oleh para Panglima Perang.
Ada dua pertanyaan penting dari kejadian demonstrasi yang menarik untuk ditelusuri : Pertama, Mengapa tentara memakai orang Dayak hanya di beberapa kecamatan saja di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak untuk mengusir Cina ? Kedua : Mengapa Paraku yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang tidak diganggu ?
Menurut peneliti, jawaban pertama adalah karena, di tempat-tempat terjadi demonstrasi merupakan basis Cina yang sangat besar dan basis Dayak yang sangat besar pula. Karena itu akan sangat mudah menggerakkan massa. Kedua, menggerakkan Dayak untuk melakukan sesuatu adalah sangat mudah karena Dayak memiliki budaya Mangkok Merah, berbeda dengan suku lain (Melayu misalnya) yang tidak punya budaya mobilisasi massa secara adat.
Jawaban kedua mengapa Paraku tidak diganggu (sementara waktu), saat adalah : pertama konsentrasi Cina di kedua kabupaten itu tidak sebesar di Sambas dan Pontianak. Kedua, pengaruh Paraku terhadap suku Iban sudah sangat kuat. Suku ini terbagi menjadi dua yakni mereka yang mendukung Paraku dan mereka yang menentangnya. Karena itu sangat sulit untuk menggerakkan suku ini melakukan gerakan penumpasan Paraku.

D.Demonstrasi, Jalan Pembuka Kemenangan Tentara Menghadapi PGRS/Paraku
Peristiwa demonstrasi berhenti secara total pada akhir Bulan Oktober 1967. Tidak ada versi resmi militer yang menyebut data orang yang meninggal dunia. Responden yang dihubungi juga tidak bisa menyebut pasti jumlah orang yang meninggal. Tapi satu hal yang pasti korban jiwa banyak berjatuhan di Kabupaten Pontianak. Beberapa orang percaya bahwa korban jiwa yang ditimbulkan mencapai 3000 jiwa. Namun van Hulten menganggap angka ini terlalu tinggi (Herman, halaman 295).
Yang jelas, saat itu terjadi pengungsian besar-besaran etnis Cina ke kota-kota seperti Bengkayang, Singkawang, Sungai Pinyuh, Mempawah dan Pontianak. Para pengungsi ini ditampung di gudang-gudang pemerintah dan barak-barak yang dibangun serta ditampung oleh keluarga-keluarga mereka. Menurut data resmi militer, jumlah pengungsi diperkirakan 59.850 jiwa (Semdam, Halaman 282).

Tabel 4
Jumlah Pengungsi Pasca Demonstrasi
DAERAH Dalam Penampungan Di luar Penampungan Jumlah
Kabupaten Sambas 14.161 8.501 22.662
Kabupaten Pontianak - 11.519 11.519
Kodya Pontianak 18.186 2.483 25.669
Total 32.347 22.503 59.850

Gerakan Demonstrasi ini dengan sendirinya membuat putus hubungan antara Cina yang pro pemberontak dengan pemberontak yang berada di gunung. Pemberontak juga tak leluasa lagi menghilangkan diri di perkampungan Cina di pedalaman.
Tentara mengontrol semua pemberitaan tentang demonstrasi. Semua sumber resmi yang dipakai adalah versi tentara. Ini tidak mengherankan karena pres sendiri tidak diperkenankan untuk masuk ke pedalaman (Herman, halaman 282). Banyak peneliti asing yang menyebut peristiwa Demonstrasi ini sebagai sebuah Pogrom (pembunuhan besar-besaran secara terorganisir) (Charles A. Choppel, Tionghoa di Indonesia dalam Krisis, Sinar Harapan, 1994, halaman 273).
Setelah demonstrasi orang Dayak sepertinya mendapatkan keuntungan yang banyak dari hasil-hasil peninggalan orang Cina. Rumah, toko dan kebun diduduki tanpa pernah berhasil diminta kembali oleh orang Cina. Beberapa orang Dayak yang mendapatkan toko Cina mencoba berdagang.
Pengalaman berdagang yang sama sekali tidak pernah dimiliki, membuat pedagang Dayak ini tidak banyak yang berhasil. Ini disebabkan oleh macetnya hubungan antar kota dengan daerah-daerah. Akibatnya harga meningkat dengan tajam dan banyak kekurangan barang. Seorang responden yang juga pernah mendapat toko Cina dan mencoba berdagang mengatakan ia hanya bisa bertahan 3 bulan berdagang. Selebihnya tokonya tutup selamanya (wawacara di Pontianak Agustus 2003).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa Demonstrasi adalah tentara. Mereka menyebut peristiwa ini sebagai Gerakan Spontan. Istilah ini sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, bahwa peristiwa ini diorganisir dengan sangat jelas oleh tentara dan elit politik Dayak, dengan memanfaatkan pola mobilisasi massa melalui Mangkok Merah. Orang Dayak sendiri yang mengikuti, kebanyakan dilatar belakangi oleh takutnya mereka terhadap tentara dan takutnya mereka melawan adat.

Pihak tentara mengakui dengan sangat jelas keuntungan yang ditimbulkan akibat Demonstrasi. Isolasi pemberontak yang dilakukan melalui Operasi Sapu Bersih II dapat dijalankan dengan cepat dan berbiaya murah.
Secara resmi militer mengakui keuntungan langsung Demonstrasi sebagai berikut :
a.Dapat dihancurkannya basis supply gerombolan Cina komunis.
b.Massa milisia komunis yang tersebar luas di daerah pedalaman menjadi hilang, dan sekaligus berakibat pula terputusnya hubungan antara satu gerombolan dengan gerombolan dengan yang lainnya.
c.Gerakan musuh akan menjadi lamban oleh karena diikuti oleh milisia Cina Komunis yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan tempur gerombolan sehingga menimbulkan problema logistik dan merosotnya daya tempur musuh.
d.Musuh dipaksa untuk mengkonsentrasikan diri yang mengakibatkan lebih mudahnya bagi kita untuk memukul sedangkan jika memencarkan diri akan menjadi sasaran suku Dayak.
e.Front menjadi lebih sempit, di mana kita dapat mengkonsentrasikan kekuatan pada tempat-tempat strategis.
f.Basis subversi militer musuh yang dapat memberikan bantuan dari luar menjadi semakin sempit oleh karena reseattlement penduduk Cina dapat dilaksanakan (Semdam halaman 278).

Demonstrasi sudah selesai. Tapi “tugas” orang Dayak untuk membantu tentara belum selesai. Mereka diwajibkan untuk menjadi penunjuk jalan, pembawa logistik dan pengangkut barang bagi militer yang hendak menumpas habis PGRS/Paraku di pegunungan. Mereka yang dijadikan penunjuk jalan ini umumnya adalah para kepala kampung yang tergolong masih muda. Mereka juga tidak diberikan kesempatan untuk menolak perintah tentara. Pekerjaan menjadi petunjuk jalan ini menyebabkan mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak pulang ke rumah. Mereka yang tidak beruntung tidak pernah dibayar dengan upah sedikit pun (wawancara dengan responden di Kecamatan Ledo dan Sanggau Ledo, Agustus 2003). Sebagian dari penunjuk jalan yang beruntung karena dekat dengan tentara berhasil mendapatkan Pangkat Letnan Satu Tituler dari tentara. Setelah penumpasan selesai, mereka yang berpangkat ini mendapatkan tunjangan khusus setiap bulannya.

Operasi militer tentara usai peristiwa demonstrasi mengalami banyak kemajuan yang berarti. Pada 31 Maret 1968, Lay Paa Ka seorang pemimpin PGRS menyerah kepada tentara di Merau. Pada 7 September 1968, di Gunung Sebabak, pemimpin pemberontak bernama Lay Tjun menyerah. Pada 26 September 1968, pemberontak dibawah pimpinan Liem A Liem menyerah di Gunung Tawang (Semdam halaman 294).

Setelah sukses menekuk PGRS yang terletak di daerah Kabupaten Sambas, militer kemudian melancarkan Operasi Manggala I sejak 20 September 1968. Operasi ini ditujukan di daerah-daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang yang mayoritas dihuni oleh suku Iban (Semdam halaman 296). Operasi pemberantasan PGRS/Paraku ini baru benar-benar berakhir pada tahun 1970, saat Militer menghentikan operasi Sapu Bersih III dan mulai melaksanakan operasi teritorial (Semdam halaman 244).***

BAB V
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari fakta-fakta pada bab-bab sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan :
1.Bahwa Kalimantan Barat adalah sebuah ajang untuk praktek lapangan bagi kebijakan politik nasional dan internasional Indonesia.
2.Bahwa sebelum massa Demonstrasi, hubungan antara orang Dayak dan orang Cina di Kalimantan Barat adalah sebuah hubungan yang tergolong baik namun juga diwarnai oleh beberapa kali konflik.
3.Bahwa PGRS/Paraku awalnya adalah kreasi Militer Indonesia yang dibuat dalam rangka politik Konfrontasi dengan Malaysia. Kreasi ini kemudian dihancurkan sendiri oleh tentara disebabkan karena perubahan politik Indonesia akibat pergantian rezim kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
4.Bahwa setelah pergantian rezim, komposisi PGRS/Paraku berubah menjadi 4 (empat) elemen yakni : Sisa Sukarelawan yang dikirim ke Malaysia untuk Konfrontasi, Pasukan pengikut Azahari dari Brunai, pasukan pengikut Serawak United People Party (SUPP) dan para pengikut dan simpatisan PKI di Kalimantan Barat yang terusir.
5.Bahwa dalam rangka pemberantasan PGRS/Paraku, militer Indonesia mengalami kesulitan mengingat pengalaman tempur, penguasaan medan, semangat militansi PGRS dan taktik gerilya serta operasi teritorial yang dijalankan pada orang Dayak.
6.Bahwa Militer Indonesia melakukan provokasi dengan menyebarkan berita-berita yang cenderung tidak benar untuk membuat kemarahan Dayak terhadap Cina.
7.Bahwa Gerakan Demonstrasi yang terjadi pada bulan Oktober 1967 bukanlah gerakan spontan Dayak terhadap Cina. Gerakan ini adalah hasil kreasi militer Indonesia bekerja sama dengan sebagian elit Dayak untuk meng-isolasi dan menyaring pemberontak serta memutus dukungan logistik dari Cina yang bersimpati pada pemberontak di hutan dan pegunungan.
8.Bahwa gerakan Demonstrasi menggunakan pola mobilisasi masa Dayak yang secara tradisional menggunakan Mangkok Merah.
9.Bahwa terdapat dua pola penggerakan Masa Dayak yakni Pola Sambas dan Pola Pontianak yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
10.Bahwa Dayak melakukan Demonstrasi karena tiga hal : pertama ketakutan terhadap tentara, kedua ketakutan melanggar pantangan adat, ketiga akibat provokasi tentara untuk memusuhi orang Cina.
11.Bahwa Dayak mendapatkan sedikit keuntungan dari hasil Demonstrasi yakni menduduki tanah, kebun, rumah dan toko yang ditinggalkan oleh orang Cina.
12.Bahwa militer mendapatkan keuntungan terbesar dari hasil gerakan Dayak ini, dengan berhasil meng-isolasi dan memutus dukungan logistik pemberontak. Ini kemudian memberi dukungan bagi berhasilnya operasi militer di Kalimantan Barat untuk menumpas PGRS/Paraku.

B.Rekomendasi
Dari hasil kesimpulan di atas, peneliti memberikan beberapa rekomendasi :
1.Perlu dilakukan pelurusan sejarah tentang pemahaman Gerakan Demonstrasi selama ini yang menyebut peristiwa tersebut sebagai tindakan spontan suku Dayak terhadap Cina.
2.Perlu ada study komprehensif lebih lanjut tentang kegiatan Paraku di wilayah antara Perbatasan Malaysia dengan Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu. Study ini sangat penting mengingat bahwa pola pencarian dukungan yang diterapkan oleh Paraku berbeda dengan PGRS. Jika PGRS menggunakan basis massa Cina, maka Paraku menggunakan basis masa dari suku Dayak Iban.
3.Perlu ada study komprehensif dengan presfektif Cina tentang peristiwa Demonstrasi dan pola penanganan pengungsi Cina di daerah-daerah reseatllement yang dilakukan oleh pemerintah. ***

1 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.